Home » » Pengertian Tâkaful ijtimâ’i

Pengertian Tâkaful ijtimâ’i

Written By SieR on Monday, February 8, 2010 | 3:11 PM


Islam menekankan adanya hubungan saling tolong menolong di dalam lingkungan sosial umatnya dan masyarakat, dan ini merupakan tanggung jawab setiap anggota masyarakat di segala bidang, umum maupun khusus selama masih dalam koridor kebaikan dan ketaqwaan. Sebagaimana di dalam al Kitab, termaktub dalam surat al Maidah ayat 2 yang berbunyi “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebaika dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah sangat berat siksa-Nya.” Dan ayat ini merupakan perintah yang menjadi bagian dari konsekuensi keimanan seseorang. Dengan adanya konsep tersebut dimungkinkan kesuksesan seseorang ataupun sekelompok masyarakat dalam sektor ekonomi, baik dalam sektor produksi, sirkulasi maupun distribusi. Bersamaan dengan majunya ekonomi, juga akan menciptakan masyarakat yang maju dan sejahtera taraf hidupnya.

Masyarakat yang maju dan perekonomian yang mantap bisa tewujud dengan pemerataan distribusi yang benar benar adil. Dan ini merupakan sebuah jaminan bagi terciptanya stabilitas sosial dan mempertahankan pertumbuhan ekonomi yang telah tercapai, bahkan bisa lebih meningkatkannya lagi, dengan catatan bahwa harus adanya tolong menolong di dalam komunitas tersebut.
Jadi setiap anggota masyarakat bertanggung jawab atas stabilitas sosial maupun ekonimi dengan jalan takâful (tolong menolong), di samping pemenuhan masing masing dari mereka bagi kebutuhan dasar yang merupakan prioritas utama dalam menjalankannya.

Di dalam Islam, menginfakan harta merupakan bagian dari jiwa seorang muslim di samping Iman. Infaq bisa berupa kewajiban (yang telah diwajibkan oleh Syari’at) atau infaq yang sifatnya sunnah dan didistribusikan ke yang lain, sebagai contoh: untuk menyambung hubungan saudara, kekerabatan, berbakti kepada orang tua, memenuhi hak tetangga (jauh maupun dekat yang muslim maupun ahlul kitâb), membantu musafir yang kehilangan bekal, menyantuni anak yatim, fakir miskin, dan lain sebagainya. Hal tersebut lah yang di dalam dalam al Qur’an surat al Baqoroh ayat 177 disebutkan sebagai pokok-pokok kebajikan. Begitu juga dalam surat an Nisâ' ayat 36-37 dan surat al Insân:7-11). Hal ini berlaku bila kebutuhan primer sudah terpenuhi.
Maka takâful yang berlaku dan disadari antar anggota masyarakat inilah yang dinamakan tanggung jawab sosial atau tanggung jawab bersama.

Ruang Lingkup Takâful

Ruang lingkup takâful adalah selama dan sejauh mana obyek takâful itu diketahiu dan takâful dibutuhkan. Orang-orang yang paling berhak mendapat perhatian terlebih dahulu adalah: kedua orang tua, kerabat dekat dari hubungan darah, anak-anak yatim, kaum miskin dan para janda. Selama mereka membutuhkan dan hal tersebut diketahui, maka takâful berlaku.
Sebagaimana yang dianjurkan oleh Rosulullâh, dari ibn Abbâs, Rosulullâh bersabda bahwasanya barang siapa yang memelihara anak yatim unt makanan dan minumanya maka Allâh akan mengampuni dosa-dosanya sampai dia melakukan perbuatan yang tidak bisa dima'afkan…

Batasan Takâful

Syatibi menjelaskan, pembebanan syar'iyyah berdiri bertujuan untuk menjaga maqâshid-nya. Maqâshid Syar'iyyah yang dimaksud adalah tiga poin penting yaitu: dharuriyyah, hâjiyyah dan tahsinîniyyah.
1. Dharuriyyah atau kebutuhan primer adalah kebutuhan harus terpenuhi untuk memenuhi kemaslahatan agama dan dunia, kebutuhan primer ini berhubungan terhadap 4 sektor diantaranya 'ibadat, 'adât, mu'âmalât dan jinâyât. Sedangkan dharuriyyah jika diklasifikasikan ada lima yaitu hifdzu al-dîn atau menjaga agama(dalam sektor ibadah), hifdzu al-nafs dan al-'aql atau menjaga jiwa dan akal(dalam sektor 'âdah) seperti kebutuhan makan, pakaian, tempat tinggal serta pendidikan, hifdzu al nasal dan mâl atau menjaga keturunan dan harta.

2. Hâjiyyah atau kebutuhan sekunder adalah kebutuhan untuk meringankan beban kesempitan dan kesusahan dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan primer. Yang dimaksud dalam hal ini adalah rukhshoh atau keringanan ketika sakit atau dalam perjalanan ,dibolehkanya berburu dan mengkonsumsi hal hal yang bagus dari makanan, minuman dan tempat tinggal dll.

3. Tahsinîniyyah atau kebutuhan tersier adalah kebutuhan yang bersifat sebagai pelengkap saja dan menjauhi segala hal yang buruk dan najis. Contoh: bersuci, menutup aurat dan memakai perhiasan, tidak menjual barang2 najis, dll.
Menurut islam batasan minimal dari takâful adalah terpenuhinya kebutuhan dasar anggota masyarakat dalam hal ini adalah kebutuhan primer. Apabila kebutuhan-kebutuhan dasar ini belum terpenuhi, bukankah masih ada orang kaya yang disuruh untuk mengeluarkan sadaqahnya? Dan juga seharusnya orang kaya-lah yang menjamin orang miskin di dalam kehidupan bermasyarakat, karena di setiap harta orang kaya terdapat hak-hak orang membutuhkan, sehingga terpenuhi kebutuhan hidupnya.

Sumber-Sumber Khusus Al Takâful al Ijtimâ'i

1.Sumber-Sumber Yang Telah Ditentukan Ukuran dan Batasan-Batasannya.

a. Zakat

Zakat berarti berkembang dan mensucikan, mengeluarkan zakat dikarenakan berkembangnya harta dan upah yang berlimpah, maka zakat di wajibkan untuk harta yang berlimpah, dan Allâh mensucikan harta serta pemilik harta yang telah di keluarkan zakatnya.
Pengertian zakat dari berbagai pendapat yang di tulis, bisa diambil kesimpulan, zakat adalah: mengeluarkan sebagain dari harta yang telah memenuhi nishab dan haul. Untuk zakat hasil hasil pertanian dan perkebunan adalah pada saat masa siap panen.
Peranan zakat di dalam masyarakat islam selain menjalankan perintah agama adalah merupakan sebuah jaminan orang yang membutuhkan dari orang kaya dan untuk mewujudkan keadilan distribusi internal di dalam masyarakat islam serta untuk investasi dan memperluas aktifitas perekonomian sehingga bisa membuka lapangan pekerjaan, terpenuhinya kebutuhan.

Macam-Macam Zakat

1. Zakat dari barang tak bergerak dan hasil-hasilnya,meliputi;

a) zakat pertanian dan perkebunan serta hasil-hasilnya.
b) zakat dari gedung yang disewakan, zakat ini diqiaskan kepada tanah yang disewakan untuk pertanian yang juga dibebani zakat, sebesar 10%.

Menurut sebagian pendapat para ulama lain, zakatnya adalah 2,5%, menurut Ibn 'Aqil al hanbal dan ibn rusyd zakat ini diqiaskan kepada zakat barang dagangan, sedangkan menurut ibn qudâmah di dalam kitab mughni, zakatnya (2,5%) dikeluarkan setelah memenuhi nishab dan haul.
2. Zakat dari harta yang bergerak, pendapat ini (2,5%) juga dikeluarkan oleh majma' al buhuts al islami (Al Azhar Mesir);
a) Zakat hewan ternak
b) Zakat harta dan hasil usaha, sebesar 2,5%, harta meliputi emas, perak dan uang. Khusus untuk perak zakat setiap 200 dirham adalah 5 dirham sedangkan emas setiap 20 dinar zakatnya adalah 1/2 dinar (menurut sebagian paara ulama 1 dinar=1 3/7 dirham, 1 dirham= 3,12gr) jadi zakat nishob emas adalah 79,14 gram dari emas murni.
c) Zakat dari perdagangan dan pabrik
d) Zakat barang-barang tambang
e) Zakat armada transportasi, setelah mencapai haul dan memenuhi nishab zakatnya adalah 45%.
f). Zakat dari perabotan dan perhiasan yang disewakan atau sejenisnya.
3. Zakat Jiwa atau Zakat Fithrah.
Zakat zakat tersebut diatas—kecuali zakat fithrah—dikoordinasikan dan didistribusikan oleh negara menurut Syari'ah Islam jika para pemegang kekuasaan dapat menjamin keadilan dalam koordinasi dan distribusi. Sedangkan zakat fitrah didistribusikanoleh orang yang mengeluarkan zakat secara langsung kepada orang yang berhak menerima.

b. Pajak

c. Upeti dari hasil usaha orang non-muslim.

2. Yang Mencakup Sumber-Sumber Yang Belum Ditentukan Ukuran dan Batasan-Batasanya.

a. Shodaqoh dan Infaq dari barang bermanfaat untuk masyarakat

Firman Allah “Percayalah kalian kepada Allah dan Rasul-Nya? Belanjakanlah sebagian harta yang hak penggunaannya telah Dia titipkan kepadamu. Orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, di antara kalian, dan membelanjakan sebagian harta yang dititipkan akan mendapatkan pahala yang besar di sisi Allah.” (Q S 57:7). Dari ayat tersebut dan dari ayat yang sejenis, Allah menyuruh untuk membelanjakan hartanya di jalan Allah. Dari jenis infaq dan shodaqoh ini juga terdapat wasiat 1/3 dari hartanya untuk fakir miskin dan orang-orang yang membutuhkan.

b. Sumber-sumber tambahan yang dibutuhkan oleh masyarakat.

Jika sumber-sumber sebelumya belum mencukupi kebutuhan masyarakat, maka pemerintah dalam hal ini—sesuai dengan syari'ah—diperbolehkan untuk menarik sebagian harta dari orang kaya secara paksa. Jika masyarakat benar-benar membutuhkan.

c. Pajak dan Sumber-sumber lain.

Sebagian ulama berpendapat bahwa pajak juga sangat dibutuhkan untuk mencukupi kebutuhan orang yang memerlukan, serta pajak juga merupakan jalan keluar, pada saat itu.
Ini semua dikoordinasi oleh pemerintah, sebagai pemegang kekuasaan, dengan syarat; penguasa dan sistem bisa berlaku adil dalam koordinasi dan distribusi. Karena sifat adil adalah syarat bagi keberlangsungan masyarakat dan ekonomi di dalam tatanan masyarakat yang islami.

Oleh: Tatang Balya Muhajir ( Anggota Divisi Ekonomi FSQ).
Tulisan ini adalah makalah yang disampaikan pada acara Pembahasan buku al Iqtishâd al Islâmi, Dr. M. ‘abd al Mun’im, Jilid I oleh Divisi Ekonomi pada hari Senin, 15 Juli 2002.
Share this article :

Post a Comment

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Barito Putra - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger