Home » » PEMBUKTIAN DAN DALUARSA DALAM SYARIAH ISLAMIYAH

PEMBUKTIAN DAN DALUARSA DALAM SYARIAH ISLAMIYAH

Written By SieR on Monday, February 8, 2010 | 9:46 AM


Syariah islamiyah sebagai undang-undang yang utuh dan sempurna pernah berkuasa di dunia selama berabad-abad lamanya. Dimulai dengan berdirinya Negara Islam di Madinah di bawah pimpinan Nabi Muhammad SAW hingga runtuhnya kekhilafahan Turki Utsmani pada tahun 1924. Syariah islamiyah tidak hanya memberikan kepuasan kepada masyarakat muslim semata, namun rasa puas menikmati keadilan juga dirasakan oleh masyarakat non muslim yang hidup di bawah naungannya.

Selain mengatur masalah-masalah ritual, syariah islam juga merupakan sebuah peraturan lengkap untuk sebuah negara yang dikenal dengan Khilafah Islamiyah. Undang-undang yang mengatur sebuah Negara tentunya bersifat menyeluruh dan mampu menyelesaikan semua permasalahan Negara. Ini berarti Syariah Islam juga mengatur masalah perpolitikan, perekonomian, korelasi antara Negara dengan rakyatnya atau antara Negara dengan Negara lain, juga mengatur kesejahteraan dan keamanan masyarakatnya yang plural, serta permasalahan-permasalahan lainnya.

Di antaranya masalah peradilan, yang merupakan sebuah permasalahan yang sangat urgen dalam sebuah Negara. Dan sudah seharusnya maslah peradilan terjabar dengan jelas di dalam undang-undang Negara itu. Islam telah mempunyai aturan yang jelas tentang peradilan, sebagaimana yang telah dibahas ulama ulamanya di buku-buku mereka.

Pembuktian dan Daluarsa merupakan salah satu pembahasan dalam bahasan tentang peradilan islam. Karena sistem peradilan Islam dibagi menjadi tiga subsistem penting, diantaranya:
1. Struktur dan birokrasi peradilan dalam Islam; meliputi macam-macam qâdhi, tugas dan kewenangan, pengangkatan, dan mekanisme birokrasi lainnya).
2. Ketentuan-ketentuan yang berhubungan dengan pembuktian (ahkâm al-bayyinah); mencakup pembahasan mengenai materi yang absah dan yang tidak absah dijadikan sebagai bukti hukum, syarat-syarat serta mekanisme pembuktian untuk kasus-kasus pidana dan perdata, dan lain-lain.
3. Sistem persanksian, yakni sistem yang menjelaskan macam-macam sanksi yang akan dijatuhkan kepada para pelanggar hukum, beserta syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan lainnya .
Maka siapa saja yang ingin mendapatkan pemahaman utuh mengenai sistem peradilan Islam, ia pun harus mendalami: sistem persanksian; sistem pembuktian; serta struktur dan birokrasi peradilan Islam.

Pada dasarnya, sistem peradilan Islam beserta bagian-bagiannya sudah disitir dalam kitab-kitab fikih klasik. Hanya saja, pembahasannya yang masih kurang sistematis, campur aduk, tercecer dalam sub-sub pembahasan yang berbeda-beda, tidak dapat membangun sebuah sistem yang hirarkis, layaknya seperti KUHP atau KUHPernya Negara pada saat ini. Di dalam kitab fikih klasik, pembahasan mengenai sanksi dan pembuktian, kadang-kadang dijadikan satu dalam kitab Al-Hukm, ‘Aqdliyyah, Syahadah, dan Da’awiy wa al-Bayyinah. Dan belum ada pemilahan, mana kitab yang khusus membahas sanksi; mana kitab yang membahas pembuktian; dan mana yang membahas struktur peradilan.

Biasanya juga, pembahasan ini selalu dimuat didalam kitab fikih pada posisi akhir pembahasan isi buku kalau bahasannya disusun dimulai dari Thaharah kemudian Shalat, Shaum dan seterusnya. Sebagaimana juga dalam undang-undang konvensional, pembuktian dan daluarsa juga dimuat pada buku terakhir, yaitu buku IV KUHPer yang juga dikenal dengan Civil Code.

Dan pada makalah ini penulis mencoba sedikit memeperkenalkan kepada pembaca tentang Pembuktian dan Daluarsa atau lewat batas waktu, ditinjau dari syariah islamiyah.

Syari’ah Islamiyah

Untuk memperjelas pembahasan, penulis sengaja memulai dengan menjelaskan definisi syariah Islamiyah terlebih dahulu. Dengan ini diharapkan agar tidak terjadi pemahaman yang berbeda dari sebuah istilah yang akan sering dipakai.

Kata Syaria'ah Islamiyah merupakan pengindonesiaan dari bahasa arab yaitu As-syariah Al-islamiyyah. Secara etimologi, kata as-asyariah mempunyai konotasi masyra'ah almaa' (sumber air minum). Orang Arab tidak menyebut sumber tersebut dengan sebutan As-asyariah kecuali bila sumber tersebut airnya berlimpah dan tidak pernah kering. Dalam bahasa arab Syara'a juga berarti nahaja (menempuh), audhaha (menjelaskan) dan bayyana almasalik (menunjukkan jalan), serta syara'a lahum yasyra'u syar'an berarti sanna (menetapkan). Syariah bisa juga berarti madzhab dan tariqah mustaqimah (jalan lusrus).

Dalam istilah Syariah sendiri, syari'ah berarti Agama yang yang ditetapkan oleh Allah SWT kepada hamba-hamba-Nya yang terdiri dari berbagai hukum dan ketentuan yang beragama. Hukum-hukum atau ketentuan tersebut disebut syariah karena memiliki konsistensi atau kesamaan dengan sumber air minum yang menjadi sumber kehidupan bagi makhluk hidup. Dengan demikian, Syariah dan Agama mempunyai konotasi yang sama, yaitu berbagai ketentuan hukum yang ditetapkan oleh Allah SWT bagi hamba-hamba-Nya .

Dan kata Al-islam (Islam) secara etimologis mempunyai arti al inqiyad (tunduk) dan istislam lillah (berserah diri kepada Allah). Istilah tersebut selanjutnya menunjukkan suatu agama yang disyariatkan Allah melalui Nabi Muhammad SAW. Dalam konteks inilah, Allah menyatakan Islam sebagaimana termaktub dalam firman-Nya, yang artinya:
"Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam menjadi Agama bagimu." (QS. Al Maidah:3).

Karena itu islam adalah agama yang telah diturunkan kepada nabi Muhammad untuk umatnya dalam mengatur hubungan manusia dengan Penciptanya, mengatur dirinya sendiri dan hubungan antar sesamanya. Hubungan manusia dengan Penciptanya meliputi masalah aqidah dan ibadah; hubungan manusia dengan dirinya sendiri meliputi akhlak, makanan dan pakaian; hubungan manusia dengan sesamanya yang juga meliputi muamalat dan persanksian.

Dengan demikian, syariah islam merupakan ketentuan dan hukum yang ditetapkan oleh Allah atas hamba-hamba-Nya. Yang diturunkan melalui Rasul-Nya nabi Muhammad SAW, untuk mengatur hubungan manusia dengan tuhannya, dirinya sendiri dan sesamanya. Dengan kata lain syariah islamiyah bukan hanya mengatur perbuatan fisik (af'al jawarih) manusia tapi juga mengatur kerja hati manusia (af'al qalb). Syariat inilah yang diwajibkan kepada seluruh umat islam untuk diterapkan dalam kehidupan mereka sehari-hari. Dan Allah mengecam lewat Al Quran mereka-mereka yang tidak mau berhukum dengan syariat islam sebagai orang yang kafir, zalim dan fasiq. sebagaimana firman-Nya yang artinya:
“Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir” (QS. Al Maidah:44).
“Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim” (QS. Al Maidah:45).
“Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik” (QS. Al Maidah:47).

Pembuktian

Pembuktian di dalam Syariah dikenal dengan al itsbat. Berasal dari kata atsbata-yustbitu-itsbat, yang mempunyai arti: menetapkan, mengekalkan atau mengukuhkan.
Sedangkan secara terminologi, istbat mempunyai arti: Iqamatuddalil amaamal qadhaa'i biththuruqillati yuhaddiduha alqaunun 'ala wujuud waaqiatin qanuniyyatin tu'addu asasan lihaqqi mudda'I bihi (mengemukakan keterangan di hadapan pengadilan dengan cara yang telah diatur oleh undang-undang karena adanya kenyataan hukum yang menjadi hak pendakwa).
Dalam peradilan Islam, sistem pembuktiannya didasarkan pada prinsip kejelasan dan menghindari kesamaran. Seorang hakim tidak boleh memutuskan perkara ketika tidak ada bukti. Imam Baihaqi meriwayatkan sebuah hadits dari Nabi Saw, sesungguhnya Rasulullah Saw bersabda:
“Pengadaan bukti wajib bagi orang yang mendakwa, sedangkan sumpah itu wajib bagi orang yang mengingkarinya.”
Juga hadist lain yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab Shahihnya dari Ibnu Abbas Rasulullah Saw bersabda:
"Sekiranya diberikan kepada manusia setiap dakwaan mereka niscaya mereka akan (mendzalimi) darah harta yang lainnya akan tetapi sumpah wajib bagi yang didakwa."
Sesuatu tidak bisa menjadi bukti, kecuali jika sesuatu itu meyakinkan dan pasti. Seseorang tidak boleh memberikan kesaksian kecuali kesaksiannya itu didasarkan pada sesuatu yang meyakinkan. Kesaksian tersebut tidak sah, jika dibangun di atas dzan (keraguan). Sebab, Rasulullah saw telah bersabda kepada para saksi:
“Jika kalian melihatnya seperti kalian melihat matahari, maka bersaksilah. (Namun) jika tidak, maka tinggalkanlah.”

Dalam Syariat Islam, yang dikategorikan bukti ada empat macam:

1. Pengakuan atau disebut juga dengan Al-iqrar

Pengakuan atau iqrar telah ditetapkan (sebagai bukti) berdasarkan dalil, baik yang tercantum di dalam al-Qur’an maupun hadits. Allah SWT berfirman:
“Dan (ingatlah) ketika Kami mengambil janji dari kamu (yaitu) kamu tidak akan menumpahkan darahmu (membunuh orang), dan kamu tidak akan mengusir dirimu (saudaramu sebangsa) dari kampung halamanmu, kemudian kamu berikrar (akan memenuhinya) sedang kamu mempersaksikannya.” (Qs. al-Baqarah: 84).
Dari Ibnu ‘Abbas ra, ia meriwayatkan sebuah hadits tentang Ma’iz, bahwa Nabi Saw bertanya kepada Ma’iz bin Malik:
“Apakah benar apa yang telah disampaikan kepadaku tentang dirimu?” Ma’iz balik bertanya, “Apa yang disampaikan kepada engkau tentang diriku?” Nabi Saw menjawab, “Telah sampai berita kepadaku bahwa engkau telah berzina dengan budak perempuan keluarga si fulan.” Ma’iz menjawab, “Benar.” Kemudian bersaksilah empat orang saksi. Lalu, Rasulullah Saw memerintahkan agar Ma’iz dirajam. Maka dirajamlah al-Ma’iz.

2. Sumpah, atau disebut juga dengan Al-Yamiin

Sumpah atau Al-Yamin telah ditetapkan dalilnya baik di dalam al-Qur’an maupun Sunnah. Allah SWT berfirman:
“Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, maka kaffarat (melanggar) sumpah itu ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka, atau memerdekakan seorang budak. Barangsiapa tidak sanggup memenuhinya, maka kaffaratnya adalah puasa selama tiga hari. Yang demikian itu adalah kaffarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah (dan kamu langgar).” (Qs. al-Maa’idah: 89).

Rasulullah Saw bersabda:
“Bukti itu wajib bagi orang yang mendakwa sedangkan sumpah itu wajib bagi orang yang mengingkarinya.”

3. Kesaksian atau disebut juga dengan As-Syahadah

Kesaksian atau As-Asyahadah telah ditetapkan dalilnya, baik dalam al-Qur’an maupun Sunnah. Allah SWT berfirman:
“Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki diantaramu. Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan.” (Qs. al-Baqarah: 282).

Nabi Saw bersabda:
“Dua saksi dari kalian, atau sumpahnya.”
4. Dokumen-Dokumen Tertulis atau disebut juga dalam syariah Al-Qarinah

Dokumen-dokumen tertulis atau Al-Qarinah telah ditetapkan dalilnya di dalam al-Qur’an. Allah SWT berfirman:
“Dan janganlah kamu jemu menulis hutang, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu’amalahmu itu), kecuali jika mu’amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan diantara kamu, maka tidak ada dosa bagi kamu tidak menulisnya.” (Qs. al-Baqarah [2]: 282).

Ayat ini menunjukkan bahwa bukti-bukti tertulis, baik berupa dokumen-dokumen perdagangan, laporan-laporan tertulis, dan lain-lain, termasuk bukti-bukti.
Ini adalah cara-cara pembuktian yang dikenal oleh Syariah Islamiyah, berbeda halnya dengan hukum konvensional yang selain empat macam cara diatas, juga mengenal cara yang lain yaitu persangkaan. Sebagaimana dalam kitab IV KUHPer.
Selain itu, Oliver (2006), seorang pemikir pernah juga memberikan alternatif lain, yang mana alternatif pembuktian yang beliau ajukan dan gagas adalah, dengan teori "keseimbangan kemungkinan pembuktian" (balanced probability of prin­ciples), yaitu mengedepankan keseimbangan yang proporsional antara perlindungan kemerdekaan individu di satu sisi, dan perampasan hak individu yang bersangkutan atas harta kekayaannya yang diduga kuat berasal dari korupsi.

Daluarsa

Di dalam buku IV KUHPer Daluarsa dan Pembuktian dijelaskan bahwa daluarsa adalah hukum yang mengatur hak-hak dan kewajiban-kewajiban subyek hukum (khususnya tenggat waktu) dalam mempergunakan hak-haknya dalam hukum perdata dan hal-hal yang berkaitan dengan pembuktian. Dan didalam bahasa Arab Daluarsa dikenal dengan At taqaddum.
Pada dasarnya Islam mengakui prinsip surut ke belakang. Artinya ada kasus-kasus yang telah terjadi lama yang tidak boleh diangkat kembali (dipetieskan), yaitu kasus yang terjadi 2 tahun lebih. Namun, kasus-kasus yang lama bisa saja diungkap kembali, dan bisa juga tidak perlu diangkat kembali tergantung dari keputusan seorang imam.

Adapun persoalan yang terjadi sebelum berdirinya Daulah Islamiyyah dan telah diputuskan oleh pemerintahan sebelumnya; juga pidana yang dilakukan oleh sekelompok individu masyarakat yang tidak berhubungan dengan pelunasan harta bagi pihak lain; maka persoalan-persoalan semacam ini tidak diungkit lagi (dibuka kembali) setelah berdirinya Daulah Khilafah. Urusan mereka diserahkan kepada Allah. Sebab, persoalan tersebut terjadi sebelum hukum-hukum Islam diterapkan secara praktis.

Adapun persoalan-persoalan yang terjadi sebelum berdirinya Daulah dan belum diputuskan oleh pemerintahan sebelumnya; demikian juga persoalan yang terjadi setelah Daulah Khilafah berdiri, maka persoalan-persoalan semacam ini diselesaikan sesuai dengan hukum Islam.
Pidana yang dilakukan oleh sekelompok individu masyarakat dan belum diselesaikan oleh pemerintahan sebelumnya, akan tetapi berkaitan dengan pelunasan harta bagi pihak lain, maka akan dibuka persidangan untuk menghukum pelanggarnya dengan mengembalikan harta kepada pemilik yang sah.

Adapun pidana yang dilakukan oleh aparatus pelaksana pemerintahan sebelumnya yang menikam Islam dan kaum muslim serta yang menyebabkan lenyap dan bangkrutnya harta kaum muslim, sama saja apakah dilakukan oleh penguasa maupun kroninya; maka akan digelar sidang untuk memperkarakan mereka. Hukum syara’ akan diterapkan bagi mereka sebagai balasan atas kedzaliman yang mereka perbuat. Jadi, kasus apartheid bisa saja diungkap kembali, tergantung kebijakan Khalifah .

Paparan diatas merupakan paparan yang sangat singkat mengenai pembuktian dan daluarsa. Untuk sampai kepada standar pemahaman yang mendalam, tentunya itu belum memenuhi syarat. Akan tetapi untuk sekedar menjadi sebuah pengenalan. Uraian singkat ini bisa memberikan informasi atau sekedar perangsang keinginan menggali yang lebih dalam lagi. Karena Syari’ah Islamiyah merupakan hukum yang sempurna dan adil untuk seluruh makhluk hidup di dunia ini. Untuk membuktikan kesempurnaan dan keadilannya yang merata, mestinya kita perlu mempelajarinya dengan serius dan lebih mendalam lagi.

Maraji’

1. Alqur'anul karim
2. Ahmad Warson. Al-Munawwir, kamus Arab-Indonesia, Pustaka Progresif, Surabaya. 1997.
3. Ibnu Taimiyah. Majmu' fatawa. Riyadh, Maktabah Obekan. Cetakan 1 1998 M/1419 H.
4. As-Syafei, Imam Muhammad bin Idris. Al Um. Tahqiq Dr. Rif'at Fauzi Abdul Muthalib. Manshurah. Darl Al Wafa'. Cetakan 3. 2005 M/ 1426 H.
5. Ibnu Qudamah. Al Mughni. Darl Hadist. Kairo. 2004 M/ 1425 H.
6. Abul Khair, Abdussami' abdul wahhab. Al Wajiz Fi Syarh Qanun Istbat. 2007.
7. Ali ali Mansur. Nidzamut tajrim Wal Iqab Fil Islam. Muassasah Adzahra' lil iman walkhair. Madinah Almunawwarah. Cetakan 1 1976 M/ 1396 H.
8. Abdul Qadir Audah. Attasyri' Al Jina'I Al Islamy. Muassasah Arrisalah, Lebanon. Cetakan 14 1998 M/ 1319 H.
9. CD Room Maktabah Syamilah 3
(FsqCairo)
Share this article :

Post a Comment

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Barito Putra - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger